Wednesday, 15 May 2013

NASIB BURUH DARI MASA KE MASA

oleh: Matin Halim

Sejarah tentang Indonesia sejatinya merupakan lahan ekspansi kaum borjuasi kolonial. Ketika kedatangan orang-orang Eropa ke Indonesia, kontradiksi dalam sistem sosial feodal di Indonesia dipertajam oleh tangan kolonialis.


Jika sebelum Indonesia merdeka kita berjuang untuk menentang, melawan dan meruntuhkan pemerintahan/kekuasaan kolonial, maka sekarang tidaklah seperti itu. Kita menerima dan mengakui dengan sadar bahwa Republik Indonesia betapapun jelek dan rusaknya adalah Negara dan Pemerintahan kita sendiri. Maka para penyelenggara pemerintahan harus didorong agar mentaati dan menjalankan Konstitusi/UUD 45 – mandat revolusi sosial dan nasional Indonesia, dengan sungguh-sungguh demi kelancaran pembangunan.

Pertanyaannya kemudian, apakah pembangunan tersebut sudah mencapai titik yang signifikan dalam  upaya menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, dan tentunya juga sejalan dengan mandat konstitusi UUD 45? Harapan demi harapan ditanamkan dalam keyakinan, akan tetapi tidak pernah ada kejelasan atas harapan yang dibangun dari semangat kemerdekaan tadi. Krisis multidimensial, ketahanan pangan yang kacau balau, masalah hukum yang semrawut, permasalahan ekonomi, kesenjangan kelas yang semakin jelas terlihat antara petani dan si pemilik tanah, antara si buruh dan majikan.

Perjuangan kaum buruh di Indonesia, untuk memperoleh jaminan kepastian kerja ternyata semakin jauh dari harapan. Berawal dari sekitar tahun 1980-an, dengan berakhirnya masa kejayaan minyak, pemerintah melancarkan strategi baru untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui industrialisasi yang berorientasi ekspor. Promosi murahnya upah buruh, kestabilan politik, dan melimpahnya sumberdaya alam, telah menarik investor secara besar-besaran membangun berbagai industri

Akan tetapi harga yang dibayar juga terlalu mahal. Hancurnya tatanan sosial masyarakat, eksploitasi manusia dan sumberdaya alam, serta perusakan lingkungan hidup telah mewarnai perjalanan panjang pembangunan ekonomi Indonesia selama ini.

Di ujung masa pemerintahannya, Soeharto sempat menandatangani sebuah perjanjian dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) yang menyebabkan kondisi buruh Indonesia makin terpuruk tingkat kesejahteraannya. Kebijakan yang tertuang perjanjuan tersebut mendorong terjadinya Reformasi Hukum Perburuhan dimana pemerintah harus mengubah semua produk hukum perburuhan sejak jaman Soekarno yang cenderung pro-buruh. Reformasi Hukum Perburuhan yang melahirkan 3 Paket UU Perburuhan (UU 21/2000, UU 13/2003 dan UU 2/2004) telah melepaskan proteksi Negara terhadap buruh.

Kondisi ini berlanjut setelah tumbangnya rezim Soeharto, ketidakstabilan ekonomi yang terjadi berdampak cukup jelas pada industri formal, terutama di bidang TPT (tekstil dan produk tekstil). Menurunnya kegiatan produksi di industri formal (TPT, Perkayuan & Kehutanan, BUMN) mengakibatkan maraknya kasus PHK. Penyempitan kesempatan kerja di sektor formal ini juga menjadi salah satu penyebab membengkaknya jumlah pekerja di sektor informal.

Situasi perburuhan di Indonesia juga diperparah oleh keluarnya paket UU Perburuhan (UU Ketenagakerjaan, UU Penyelesaian Perburuhan dan UU kebebasan Berserikat) yang tidak mendukung peningkatan kondisi buruh tapi malah melegalisasi sistem kerja subkontrak, dan tenaga kerja kontrak tanpa memberikan perlindungan yang jelas terhadap buruh.

Dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja melalui investasi, pihak perusahaan  mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang dianggap terlalu protektif dan kebijakan upah minimum yang kenaikannya dianggap tidak menguntungkan investor.  Situasi ini membuat kondisi buruh menjadi semakin rentan.

Hasil dari pembangunan ekonomi dengan menggunakan jalan kapitalisme, di satu sisi memang membuahkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi di sisi yang lain menghasilkan kesenjangan sosial yang tajam karena pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang yang menguasai unit-unit ekonomi dan juga sumber-sumber ekonomi di dalam negeri. Sementara rakyat selalu menjadi korban dari pembangunan. Struktur ekonomi seperti ini terjadi karena masih dominannya pihak asing (kreditor) dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi di negeri ini.

Dan sejauh ini, refomasi ternyata hanya melahirkan demokrasi prosedural dengan elit-elit penguasa yang rakus dan takluk di bawah kaki para pemodal. Tak heran jika Pramoedya pernah menyebut era ini adalah Orde Baru di Orde Baru.

Penguasaan swasta dan asing atas aset-aset berharga, baik materi maupun non-materi kembali menjadi tontonan setiap hari, mengingatkan kita pada sejarah kelam negeri ini yang selama berabad-abad berada dalam cengkeraman kolonialisme-imperialisme. Sumber daya alam seperti, tambang, minyak dan lain-lain, memang melimpah ruah, akan tetapi telah dirampok  swasta dan asing.

Tenaga-tenaga kerja produktif pribumi menjadi sasaran empuk perbudakan. Pengetahuan warisan leluhur memang megah dan mengagumkan. Tapi neokolonialisme telah merebut dan menghegemoni basis epistimologi dan menembus ke-“tidak-sadaran” kita.

Yang tersisa adalah buruh yang terus diperas keringatnya, petani yang kelaparan di lumbung padi, dan rakyat yang terjajah.

No comments:

Post a Comment

Pages