oleh: Wisnu Prasetya Utomo
Mengaku menyimak dinamika perkembangan teknologi komunikasi yang semakin masif, Presiden SBY akhirnya memutuskan untuk membuka akun twitter. Hal ini mengikuti “perpindahan besar-besaran” ke dunia maya yang dilakukan oleh para pemimpin berbagai negara.
Melihat fakta tersebut, langkah SBY bisa dibilang sedikit terlambat. Keterlambatan ini tidak akan dapat ditoleransi oleh netizen (warga dunia maya) jika SBY menggunakan akunnya hanya untuk melakukan pencitraan.
Di republik twitter, presiden tidak akan menjadi presiden. Masyarakat tidak perlu berhadapan dengan ketatnya penjagaan paspampres hanya untuk menyapa SBY.
Kehadiran media sosial telah memaksa konsep kekuasaan untuk dikaji ulang. Hierarki atas-bawah runtuh. Kesetaraan menjadi penanda bagi relasi antara masyarakat dengan negara. Tidak ada “pusat” dan tidak ada “pinggir”.
Simak bagaimana hiruk-pikuknya mention para netizen kepada akun twitter SBY. Dari mulai aspirasi persoalan sehari-hari, guyonan, sampai caci-maki terhadap presiden semua ada.
Situasi ini muncul karena media sosial menyediakan platform interaksi yang jauh dari sifat formal-birokratis. Ia memangkas jarak yang jauh antara masyarakat dengan negara. Keunikan, atau — kalau bisa dibilang- keunggulan inilah yang membuat media sosial memiliki peran besar dalam demokratisasi dan menemukan ruang publik “yang sesungguhnya”.
Ruang publik merupakan keadaan komunikasi yang bisa memunculkan kekuatan solidaritas masyarakat . Kekuatan ini muncul sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap uang (pasar) dan kekuasaan (negara) agar bisa mencapai titik equilibrium egalitarianisme.
Mengejar Keterlambatan
Dengan memahami raison d’etre media sosial tersebut, keterlambatan mesti segera dikejar oleh SBY (dan stafnya) agar pesan-pesan melalui twitter tidak segera menjadi klise.
Dalam kajian komunikasi politik, media sosial adalah bentuk generasi ketiga setelah face to face communication dan media arus utama. Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan, yang berbeda cara memanfaatkannya dengan dua generasi media sebelumnya.
Pertama, memimpin adalah mendengarkan. Media sosial menjadi ruang yang sepenuhnya terbuka di mana setiap netizenbisa menyampaikan kritik dan aspirasinya. Sarana ini potensial untuk “menangkap” berbagai keresahan masyarakat. Apalagi, mayoritas dari 29 juta pengguna twitter di Indonesia terdiri dari kelas menengah terdidik dan kritis. Aspirasi yang muncul setiap hari melalui medium ini sudah selayaknya diperhatikan. Pengalaman ketidakefektifan layanan pengaduan melalui SMS dan PO BOX 9949 merupakan pelajaran berharga.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, misalnya, selalu menyediakan waktu untuk menengok linimasa (timeline). Setiap hari, ia membaca setidaknya 10 tweet yang sudah dipilihkan oleh stafnya dari puluhan ribu mention yang muncul. Staf pengelola twitter Obama juga bertugas meneruskan ke kementerian yang bersangkutan apabila ada kritik atau pertanyaan dari warga.
Kedua, pesan harus disampaikan dengan padat dan ringkas (brevity). Seperti diungkapkan John H. Parmelee dalam How Twitter Influences the Relationship between Political Leaders and the Public (2012), keterbatasan karakter dalam twitter justru bagus untuk publik. Para pemimpin politik dipaksa merangkum pesan dengan sederhana agar tidak menimbulkan penafsiran yang lepas dari konteks awalnya.
Kita mafhum, SBY dalam komunikasi politiknya selama ini selalu mengesankan bahwa dirinya sangat berjarak dengan masyarakat. Tentu, ini tidak bisa dilakukan di media sosial jika ingin pesan dapat tersampaikan secara efektif. Menggunakan pola komunikasi high context hanya akan membuat akun twitter presiden menjadi bahan lelucon dan tidak berfungsi apa-apa. Gaya bahasa sederhana dan informatif akan membuat para pengikut (followers) tertarik dan pesan yang disampaikan akan lebih lekat di ingatan.
Migrasi Birokrasi
Selain catatan mengenai gaya komunikasi politik di media sosial, akun twitter SBY adalah contoh bagi pejabat-pejabat di bawahnya untuk ikut melakukan “migrasi ke dunia maya”. Dari mulai pejabat birokrasi di tingkat Menteri, Gubernur, Bupati dan seterusnya. Karena sekarang adalah era cyberdemocracy yang mensyaratkan keterbukaan informasi dan dialog.
Keterbukaan informasi, akuntabilitas dan transparansi pemerintah salah-satunya bisa ditunjukkan melalui web atau situs resmi pemerintah. Di sana (idealnya) kita bisa mengakses berbagai hal; mulai dari agenda pemerintahan sampai penggunaan uang publik.
Kita mesti jujur tidak banyak web resmi pemerintah yang memenuhi harapan. Bahkan ketika kondisi ideal itu tercipta, tetap saja tidak cukup untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam demokrasi.
Partisipasi membutuhkan kesepahaman yang hanya bisa dibangun melalui dialog. Media sosial menawarkan medium yang tepat untuk terciptanya dialog yang setara. Dengan demikian, seperti diungkap Paul Ferber dalam Cyberdemocracy and Online Politics: A New Model of Interactivity (2008), ruang publik bisa dideliberasi.
Deliberasi ruang publik membuat beragam kepentingan mendapatkan kesempatan aksentuatif. Dengan meringkas struktur-struktur birokrasi, suara masyarakat akan cepat terserap oleh pembuat kebijakan. Komunikasi terjadi secara horizontal, bukan vertikal. Pada akhirnya, pertukaran gagasan yang bebas dan setara bisa memunculkan konsensus yang bermanfaat bagi kepentingan publik.
Meskipun memang, penggunaan media sosial bukan tanpa persoalan. Keberlimpahan informasi (information abundance) di media sosial justru membuat diskursus menjadi miskin pengetahuan. Kedangkalan ini bisa dilihat dari kecenderungan mementingkan “citra” ketimbang “substansi” atau dan “aksi” ketimbang “gagasan”.
Oleh karenanya, perlu satu transformasi agensi untuk membangkitkan kembali potensi politis media sosial. Pangkalnya, dalam setiap keberhasilan komunikasi, faktor agensi tidak mungkin diabaikan. Di sinilah pentingnya akun twitter SBY dan para pejabat di bawahnya.
“Republik twitter” menjadi salah-satu jalan lain untuk merawat republik. Sayang jika kita tidak segera beradaptasi. Bagaimana presiden @SBYudhoyono?
No comments:
Post a Comment