oleh: Dedik Priyanto
Kerukukan antar-umat beragama makin hari makin mencemaskan di negeri ini. Berita intolensi sering terdengar di televisi.
Atas nama agama, sekelompok orang menyerang jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Buntutnya, korban jatuh tak terelakkan. Begitu halnya dengan penyerangan sebuah tempat ibadat di Temanggung, Jawa Tengah. Jamaah Syiah di Sampang hingga kini harus mengungsi dan meninggalkan tanah sendiri. Dan sederetan kasus lain di tempat lain.
Di samping pemahaman beragama yang salah, faktor terpenting untuk mengatasi kekerasan atas nama agama adalah faktor negara. Negara yang berkewajiban melindungi setiap warganya. Namun sayangnya, dalam banyak kasus intolerasi yang terjadi, negara seolah absen melindungi para korban.
Entah bagaimana, SBY selaku kepala tidak malu menerima penghargaan atas keberhasilan menjaga kerukunan umat beragama. Berhasilkah negara menjaga kerukunan? Berhasilkah SBY melindungi para korban?
Kegagalan Negara
Menurut JJ Rosseau (1649), negara haruslah menjadi pelindung setiap warganya. Sebab, ia telah merenggut kebebasan alamiah yang dimiliki individu ketika belum adanya negara (state of nature).Negara dibutuhkanlah sebagai perekat kebebasan-kebebasan individu, serta sedikit menguranginya dengan social contract.
Individu kemudian tetap memiliki kebebasannya, namun kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan individu lain. Dan kebebasan itu dibatasi dengan kontrak sosial yang disebakati bersama. Negara, sebagai institusi yang dianugerahi tanggung jawab menjaga kontrak sosial itu, punya kewajiban melindungi warga yang hak-haknya direnggut. negara berkewajiban menghukum pelaku kekerasan dan kriminal karena menyalahi kontrak sosial, karena melanggar kebebasan individu lain.
Dengan demikian, dalam hal kekerasan yang kerap atas nama agama yang kerap terjadi dewasa ini, jelas bahwa negara punya tanggung jawan melindungi korban dan menghukum pelaku kekerasan, Negara harusnya membela mereka yang hak-haknya direnggut secara paksa. Namun yang terjadi, negara terlihat gagap. Negara seakan kalah oleh para pelaku kekerasan. Negara tidak tegas menghadapi intoleransi.
Kegagapan negara dalam memberikan keamanan setiap warga inilah yang menjadi titik persoalan mengapa kebhinekaan dan kemajemukan kita terusik. Penulis kira ada tiga fundamental hal yang harus ditilik sebagai episentrum negara yang berdaulat.
Pertama, ancaman disintegrasi. Perkara ini kerap dianggap selesai oleh banyak orang. Sering dilupakan bahwa proses menuju integrasi sosial tidak segampang membalikkan telapak tangan. Padahal proses ini adalah proses dinamis, yang tidak bisa dirawat hanya dengan acara-acara formal seperti dialog antar-agama yang boros anggaran. Peran pendidikan, pemberitaan media dan teladan dari para pemuka masayarakat dan agama penting di sini.
Bisa dilihat, misalnya, pada kasus India dan Pakistan yang akhirnya berpisah. Sebelum terpisah menjadi negara berbeda, persatuan keduanya berawal pada pseudo-politics', dilanjutkan dengan ketidakmampuan negara sebagai payung pemersatu. Indonesia, agaknya akan mengalami kejadian yang sama. Jika negara'lagi-lagi' gagal menjalankan tugasnya, serta hanya memikirkan kekuasaan dan citra terhadap suatu masalah.
Kedua, politisasi agama. Dua anasir ini ibarat dua mata sisi yang melengkapi. Bahwa agama dan politik tidak pernah lepas sebagai sesuatu yang sudah terkodifikasi (sunnatullah). Namun, menjadi bermasalah jika agama itu dipolitisasi oleh segelintir golongan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Buahnya, adalah kekerasan yang berbau agama.
Ketiga, identitas negara. Menjadi Indonesia adalah menyerupa nasionalis tanpa perlu mengamit agama sebagai teman sejawat dalan lelaku. Agama bukanlah embrio dari Pancasila sebagai paradigma berpikir bangsa. Meski sejak awal diakui para pendiri bangsa bahwa negara ini adalah negara beragama, tapi mereka tidak pernah bermaksud mendirikan negara agama. Hal ini terlihat jelas dari penghapusansembilan kata yang tadinya tercantum dalam sila pertama.
Landasan bangsa yang bertumpu pada toleransi, kebersamaan, kekeluargaan dan sikap saling menyayangi antara sesama.
Untuk itulah, segala silang sengkarut perbedaan tidak dibenarkan berakhir dengan kekerasan. Kita seharusnya malu pada nenek moyang dan tanah nusantara ini jika pertikaian karena agama sampai terjadi.
Intelektual muda Ahmad Makki suatu saat pernah berkata: “pertengkaran demi meributkan perbedaan, apalagi sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan yang mengganggu tidur siang.”
No comments:
Post a Comment