Wednesday, 5 June 2013

NOTAMERTA BUAT GERAK-GERIK


"Gua pengen ‘neladanin pedagang Cina. Harga murah, untung ‘dikit, pemasukan lancar," kata lelaki tinggi besar itu.

Saya mengangguk setuju.

"Harga murah juga berarti gua amal buat mahasiswa."

***
 
Sumber foto: Annida Online

Lelaki itu Ikhwan Nasution. Panggilannya Tion. Seorang kawan asal Batak bilang, ini kali pertama ia ketemu orang yang berani memapas nama marganya dengan sengaja.

Tapi bukan lantaran itu nama Tion menjadi legenda di UIN Jakarta. Ia juragan toko buku -ia menyebutnya bengkel buku- Gerak-Gerik, yang mayoritas dagangannya adalah buku tua.

Ketika Tion mengucapkan kalimat di atas, saya merasakan optimisme dan keteguhan. Ia menyelundup kesana-kemari demi mengendus jejak buku-buku tua. Kerja keras ini sempat membuat profilnya nampang di rubrik Sosok harian Kompas.

***

Bukan koleksinya yang pertama kali membuat saya tertarik dengan toko buku Gerak-Gerik. Ketika  melewati mulut gang kecil itu, sekira paruh awal dekade 2000-an, saya belum tahu di sana ada lumbung ilmu.

Adalah sosok sastrawan Danarto yang mengundang mata saya. Legendaris yang wajahnya hanya pernah saya lihat di media massa atau halaman akhir beberapa buku itu, tengah membaca sambil menghadapi puluhan buku tertumpuk rapi.

Saya menghampiri, menyalami,  sedikit berbasa-basi. Dan tak urung lalu menyelidik harta karun yang terhampar disana.

Beberapa kali berkunjung, saya berkesempatan mengobrol dengan Tion. Ia mengaku koleksinya tak banyak yang baru. Hanya buku baru dengan angka penjualan lumayan yang dipajangnya. Itu pun tema-tema tertentu, seperti filsafat, sastra, budaya, sejarah dan sejenisnya.

“Buku-buku bagus dan serius biasanya enggak laku. Beberapa bulan terbit lalu menumpuk di gudang,” terangnya. Ia lalu membujuk para penerbit agar menekan harga, dengan jaminan angka penjualan sekian. Pertaruhan kredibilitas sebagai pedagang, ia menyebutnya.

“Gua yakin di UIN (Jakarta) pasar buku-buku beginian masih lumayan”.

Beberapa bulan kemudian Gerak-Gerik pindah tak jauh dari tempat semula. Di bantaran  jalan utama Pesanggrahan. Samping Warkop Siang-Malam. Lebih strategis dan lebih luas. Buku-buku tua mulai dipajang. Dan kian lama kian fokus ke segmen ini.

Tion pun makin edan pasang harga. Kumpulan cerpen legendaris Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma saya gondol dengan harga lima ribu perak. Novel klasik Dr. Zhivago yang diterjemahkan Trisno Sumardjo, di sebuah bazar buku lama dibandrol 300 ribu. Tapi di Gerak-Gerik bisa dibawa pulang dengan harga 50 ribu. Yang berbahasa Inggris harganya lebih jeblok lagi, cuma 20 ribu.

Makin lama buku-buku tua kian menjejali Gerak-Gerik. Bobot kualitasnya kian canggih, temanya tambah beragam. Cocok betul dengan selera intelektual saya yang urakan dan kurang bertanggung jawab. Saban punya uang barang 50-100 ribu, saya bergegas mampir dan menghabiskannya selekas pecandu judi kurang siasat.

Ide Tion berkutat di buku-buku lawas mendapat sambutan hangat. Tempat ini jadi semacam ruang rekreasi para pecandu buku. Dengan kian ramainya Gerak-Gerik, Tion tak hanya berperan sebagai juragan. Ia juga kerap membantu melayani, tapi lebih sering jadi katalog buku. Memberi keterangan ringkas, menunjukkan buku-buku yang berhubungan, atau merekomendasi.

Tion juga bisa menjadi pedagang yang nyentrik. Jika ada yang bertanya buku-buku teks kuliah, dengan ketus ia menjawab, “sori, enggak jual yang begituan.”

Mereka yang bokek pun bisa datang dengan nyaman. Menunjuk beberapa buku yang diinginkan agar disimpan dan tak dibeli orang lain. Seminggu-dua kemudian boleh datang lagi menyetor duit dan ambil buku.

Saya juga menikmati fasilitas ini. Tapi saya punya kelemahan yang membuat enggan memanfaatkannya terlalu sering. Saban main ke toko buku dalam kondisi kantong kempes, kepala saya kerap pening, jantung berdebar-debar, kaki lemas dan keringat menitik deras. Malamnya saya sukar tidur membayangkan buku incaran saya dijamah orang.

***

Gabriel Garcia Marquez, Camilo Jose Cela, Herman Hesse, Knut Hamsun, Lu Hsun. Idrus, John Steinbeck, Mahbub Djunaidi, Dami N. Toda, HB. Jassin, Franklin Foer, Simon Kuper dan Stefan Szymanski dan  sederet nama lainnya.

Tanpa Gerak-Gerik, nama-nama di atas mungkin hanya bisa saya baca di Wikipedia sambil mengira keagungan karya mereka. Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa pengalaman spiritual yang saya rasakan saat dihanyutkan karya mereka.




Gerak-Gerik bagi saya bukan sekadar toko buku.

Secara personal, tempat itu seperti peta penunjuk untuk menemukan wilayah-wilayah baru yang ikut membentuk diri saya.

Selain itu, Gerak-Gerik adalah saksi perubahan sosial di UIN Jakarta. Saya memulai kuliah di kampus ini ketika forum-forum kajian tengah jadi primadona. Saat itu, Anda belum sah menjadi mahasiswa jika tak mampu menunjukkan tempat-tempat kajian ternama di Ciputat.

Jamaah forum-forum studi itulah yang menjadi konstituen setia Gerak-Gerik. Mereka yang menganggap forum studi sama pentingnya dengan ruang kuliah itu, secara regular menjadikan toko-toko buku sebagai taman bermain.

Memasuki paruh kedua dekade 2000-an, UIN mengalami banyak perubahan. Mahasiswa kian disibukkan dengan tugas kuliah. Saya mengingat dengan jelas proses bergantinya buku-buku bacaan di tangan mahasiswa menjadi buku teks kuliah. Saya bahkan bisa mengingat mahasiswa terakhir yang setia membawa buku bacaan kala tengah nongkrong.

Perubahan ini turut dirasakan toko-toko buku. Perlahan-lahan mereka menyingkirkan bermacam buku dari rak-raknya, menggantinya dengan sebatas buku teks. Tapi Gerak-Gerik tetap keras kepala.

Di saat-saat seperti itulah , sekitar lima tahun lalu, Tion menyatakan ingin meneladani para pedagang Cina, setelah sebelumnya mengeluhkan kian minimnya mahasiswa yang mendatangi Gerak-Gerik.

“Hitung jumlah toko buku (di sekitar) yang masih bertahan. Itu indikator minat baca mahasiswa UIN,” ujarnya ketika itu.

Saya bisa mengingat keberadaan sekitar 17 toko buku di radius 1 km di sekeliling UIN Jakarta. Saat ini yang tersisa tinggal lima. 

Jika Tion benar, setidaknya masih ada Rektor Komaruddin Hidayat yang masih percaya lembaganya sebagai world class university.

***

Setelah obrolan itu, kami tak lagi punya kesempatan berbincang secara pribadi, hingga mendadak seorang kawan menyampaikan kabar tutupnya Gerak-Gerik.

Kali pertama mendengarnya, saya melengak kaget. Baru berjam-jam kemudian saya betul-betul menyadari ada bagian yang hilang dari kehidupan saya.

Setelah Gerak-Gerik tiada, saya jadi sadar betapa sedikit buku yang telah saya baca.




No comments:

Post a Comment

Pages