Wednesday, 5 June 2013

PERJUANGAN UNTUK SETARA


The Cause is Fear”
-Dialog dalam film A Single Man

Sebuah dialog sederhana yang membuat saya berkontemplasi. Topik kontemplasi melebar kemana-mana hingga akhirnya saya berhenti pada satu topik: diskriminasi minoritas.

Siapa sebenarnya minoritas? Mengapa tahun-tahun belakangan ini minoritas menjadi selebriti –ada di televisi, dibicarakan di radio, menjadi headline utama di surat kabar harian hingga mingguan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, minoritas adalah golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain tersebut.

Mengambil contoh apa yang terjadi di Indonesia, saya mengamini apa yang ada di dalam definisi KBBI. Minoritas di Indonesia (sudah pasti) jumlahnya lebih sedikit, dan kenyataanya memang banyak didiskriminasi, bahkan diopresi.

Sebut saja Ahmadiyah pada tragedi Cikeusik, Pandeglang, Banten. Ketik kata ‘Ahmadiyah’ di mesin pencari, lihat sendiri berapa banyak pemberitaan tentang mereka di media dan lihatlah  berapa kali tempat ibadah mereka dihancurkan. Rumah mereka pun dihancurkan. Eskalasi ketakutan dalam kehidupan mereka semakin serius setiap hari.

Sebut saja Syiah di Sampang, mereka dilarang bertakbir di malam idul fitri, karena jika bertakbir rumah mereka terancam hangus.

Sebut saja umat kristiani, mari hitung bersama gereja-gereja yang sudah ditutup, dilarang beroperasi. Mari hitung bersama umat kristiani yang ketika beribadah dilempari air seni.

Sebut saja kaum homoseksual di Jakarta. Berapa banyak dari mereka yang masih menjadi bahan opresi masyarakat hanya karena berbeda. Bahkan setelah WHO mengeluarkan homoseksualitas dari International Classification of Diseases pada tahun 1990 dan International Day Against Homophobia and Transphobia, yang diperingati setiap 17 Mei.

Secara global, bisa kita lihat muslim di Eropa yang merupakan minoritas dan rentan diskriminasi. Lalu siapa lagi yang dianggap rentan lalu didiskriminasi? Siapa lagi yang akan bernasib sama?

Sesuai dengan teori Gramsci dengan counter-hegemonic-nya, individu dan kelompok yang didiskriminasi dan diopresi tidak akan tinggal diam. Mereka membuka jalan untuk keluar dari rantai diskriminasi yang bukan tidak mungkin sebentar lagi akan membunuh mereka. Mereka mengadu ke pemerintah, meminta agar diperlakukan setara.

Alih-alih diperlakukan setara, Ust. Tajul Muluk (Syiah) justru mendekam di Penjara. Alih-alih diperlakukan setara, kaum homoseksual justru semakin didiskriminasi. Mahasiswa Riau meminta KPU tidak loloskan Calon Gubernur (CaGub) homoseksual (headline ourvoice.or.id). Alih-alih mendapat hak setara dalam politik, keberadaan mereka didemo dan diabaikan.

Mengapa mereka tetap berusaha jadi setara? Karena jengah, juga karena takut. The cause is fear, seperti dialog film yang saya kutip di atas. Karena ketakutan yang diciptakan orang-orang di luar dunia mereka menumbuhkan kekuatan untuk melawan. Untuk keluar dari lingkar diskriminasi dan opresi yang tidak kunjung berhenti.

Usaha mereka tidak dengan konfrontasi murahan. Usaha mereka tidak dengan demonstrasi berujung kekerasan di depan gedung DPR. Mereka tidak berjuang untuk diri mereka sendiri. Mereka berjuang untuk kebebasan. Mereka menjadi aktor yang meningkatkan kewaspadaan manusia dan kelompok manusia di sekeliling mereka agar tahu bahwa kita, dalam negara yang (katanya) demokrasi, dikekang oleh diskriminasi.

Mereka menyadarkan bahwa kita, yang katanya hidup di negara yang presidennya mendapat penghargaan karena menjunjung tinggi toleransi umat beragama, dikekang oleh suara mayoritas yang menekan minoritas. Mereka berjuang diadvokasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dananya bukan dari dalam negeri.

Pemerintah tidak ikut andil dalam perjuangan mereka. Sedih? Tidak perlu. Mereka tidak lemah, mereka kuat.

Meraka kuat karena ketakutan yang datang ketika diancam, ketika diopresi. Ketakutan adalah dasar perjuangan mereka.

The cause is fear.


No comments:

Post a Comment

Pages