Wednesday, 5 June 2013

SOEKARNO DI MATA TUKANG PECEL LELE

oleh: Abdullah Alawi

“Anda dari mana?”

“Dari Indonesia.”

“Oh.. Soekarno!”

“Iya.”

“Dia bukan hanya pemimpin Indonesia, tapi juga Afrika.”


Percakapan itu terjadi antara seorang supir taksi dengan sastrawan Asrul Sani di Afrika. Saya membaca kisahnya di majalah Horison, entah edisi berapa.

Taksi berhenti begitu sampai di tujuan. Asrul menyodorkan ongkos, tapi si sopir taksi menolaknya.

“Kita sama-sama dipimpin Soekarno. Jadi, kita saudara jauh. Sekalinya bertemu, masak harus bayar?”

***

Di bilangan Ciputat, saya pernah sekali makan di sebuah warteg. Lidah saya kurang cocok dengan masakannya. Tapi karena lapar, habis juga sepiring. Pelajaran yang bisa diambil: lain kali saya tak usah makan di situ.

Tapi saya langsung meralat niat itu ketika tatapan terantuk pada dinding warung. Di situ terpampang gambar seseorang berpakaian coklat kehijauan dengan sederet bintang di pundak dan dada. Raut muka gagah, klimis, tak satu bulu pun dibiarkan tumbuh. Sementara di kepalanya bertengger kopiah hitam.

Sekali waktu saya bertandang ke pulau Tidung. Di sana saya sempat mampir ke rumah lelaki berusia 80 tahun. Kemudian ngobrol banyak hal. Dari mulai sejarah, budaya setempat, perubahannya; laut dan nelayan, pandangannya terhadap pesatnya pariwisata daerah itu, hingga urusan cinta masa mudanya.

Dalam hitungan jam, kami akrab; hingga ia sempat mengajak saya memasuki kamarnya. Ada lemari tua dengan buku-buku tua, dan lampu teplok. Di salah-satu dinding, tertempel gambar seseorang berpakaian rapi dengan sederet bintang di pundak. Raut muka gagah, klimis, tak satu bulu pun dibiarkan tumbuh. Sementara di kepalanya bertengger kopiah hitam: Soekarno!

***
Sepulang dari makan di tenda pecel lele favoritnya, teman saya yang bernama Pagar Dewo, dengan sangat semangat menceritakan sebuah dongeng. Sebuah dongeng yang ia yakini betul akan segera menjadi legenda urban. Saya terpaksa mendengarkan.

Karena sudah akrab, seperti biasa Pagar Dewo ngobrol ngalor-ngidul tanpa juntrungan dengan si tukang pecel lele. Hinga di satu titik, obrolan jatuh pada sosok Soekarno.

Tak perlu saya tuliskan apa yang dimuncratkan mulut Pagar Dewo mengenai kebesaran Soekarno. Karena akan sia-sia, ibarat menggarami lautan. Intinya, Soekarno bukan hanya nama yang mengacu kepada seseorang bernama Soekarno. Ia adalah kata kerja, bahkan semangat.

"Soekarno lebih dari sekadar nama. Soekarno adalah kata kerja. Soekarno itu semangat!"

Tapi si tukang pecel lele hanya cengengesan melihat Pagar Dewo berapi-api. Di sela-sela menghisap kreteknya, ia memain-mainkan kumisnya yang melintang tebal, baplang. Dengan santai ia bilang, Soekarno punya satu kekurangan fatal sebagai lelaki.

“Sayang, Soekarno itu, kurang satu. Satu saja,” ungkapnya.

“Mudah jatuh cinta? Gampang tersandung karena wanita?” Pagar  Dewo langsung menebak.

“Bukan!”

“Dituduh terlibat Gestapoe?”

"Juga bukan."

“Terus apa?” Pagar Dewo mulai penasaran.

Saya yang tadinya malas-malasan mendengarkan ikut penasaran; penasaran yang sama-sebangun dengan penasaran Pagar Dewo ketika menghadapi tukang pecel lele itu.

Apakah si tukang pecel punya temuan data lain yang belum pernah tersebar? Atau cerita yang tak pernah diceritakan yang didapat dari leluhurnya?

"Emang apa tho, Cak?" Pagar Dewo mendesak.

Tukang pecel makin cengengesan, makin asyik mengisap kreteknya, seolah mempermainkan rasa penasaran Pagar Dewo.

“Apa sih, Cak? Apa kekurangan Soekarno itu?”  Pagar Dewo kehabisan stok sabar.

“Ini belum pernah disebut di ruang kuliah atau seminar manapun. Ini juga tidak pernah ditulis dan tak ada di buku mana pun.”

“Iya, apa?”

“Dia tak berkumis!”

No comments:

Post a Comment

Pages