Politik kita hari ini makin seperti film horor dalam negeri. Ngeri-ngeri tapi bagi akal sehat bikin geli. Setiap hari kita dipaksa menonton lelucon di televisi. Kalau tidak setuju, tolong sebutkan satu saja peristiwa politik belakangan ini yang tidak lucu.
Di tengah berbagai lelucon itu, bagaimana masa depan Indonesia? Semua orang pasti akan langsung bersepakat bahwa masa depan negara ada di tangan pemuda. Pemuda adalah harapan laten semua bangsa. Tapi bisakah generasi sekarang mengamankan masa depan? Itu pertanyaan besar yang jawabnya masih disimpan di Bank Swiss. Entah siapa pegang kuncinya.
Benarkah segalanya di tangan pemuda?
*********
Bukan rahasia jika setiap tokoh muda punya mentor. Bukan rahasia pula, setiap organisasi mahasiswa atau pemuda punya senior elit yang kepentingannya harus dibela dan diperjuangkan mati-matian. Namanya kepentingan, kadang bertemu kadang beradu. Kawan dan lawan soal mata pendapatan saja, di samping pendapat pastinya.
Organisasi mahasiswa adalah kepanjangan tangan senior-seniornya di lapangan. Ya buat demo, menggarap proyek hingga menjadi mesin politik yang berpusing ke seluruh penjuru nusantara. Dari skala teri sampai skala kakap.
Jadi sebenarnya, ungkapan masa depan bangsa di tangan pemuda adalah hiburan belaka. Buat membesarkan hati cuma-cuma. Pengendalinya yang tua-tua juga. Jangan kecewa.
Para petua itulah yang berkontribusi besar atas kenyataan politik kita akhir-akhir ini. Sekali lagi jangan kecewa. Begitulah adanya. Setiap tokoh muda pasti sangat patuh pada minimal satu orang yang dianggapnya Suhu. Setiap organisasi mahasiswa punya senior yang kata-katanya merupakan firman.
Anak muda, kau baru benar-benar pegang kendali setelah kau sudah tak lagi muda! Camkan itu. Jangan ge-er kalau ada yang menyanjung peran pemuda setinggi Menara Dubai. Itu lebay.
Mari kita tengok novel Harry Potter. Oleh J.K Rowling, Harry dijadikan tokoh utama yang bisa mengalahkan Voldemort. Kita yang ketika membacanya masih kecil, senang sekali mendapati Harry pahlawannya.
Tapi Harry hanyalah kepanjangan tangan dari Dumblodore. Bahkan seluruh anggota Orde Phoenix patuh kepada Dumbledore. Jadi siapa pengendalinya? Si Tua.
Mau tidak mau, kita sebagai pemuda yang katanya pemegang mandat masa depan, wajib menemukan Maha Guru yang tepat. Harry sih enak, tanpa dia cari, Dumbledore datang menghampiri. Apesnya, kita bukan hidup di dunia rekaan. Dan di negara ini ada banyak sekolah dan universitas. Sementara di sana, Hogwarts satu-satunya. Sudah pasti ia jumpa Dumbledore, pembimbingnya. Sementara kita, harus mencari kesana-kemari. Akan sangat berbahaya jika kita jatuh menjadi Draco Malfoy, punya panutan si Penguasa Kegelapan.
Anak-anak muda Indonesia, dalam hemat saya, butuh mentor politik sekelas Albus Dumbledore, agar bisa membebaskan negeri ini dari ancaman Kamu-Tahu-Siapa dan para Pelahap Maut.
Walaupun ada ribuan Harry, Ron dan Hermione, percuma bila sosok seperti Dumbledore absen. Sosok yang tidak hanya memiliki kesaktian politik, tapi juga kecerdasan menyusun strategi agar kebajikan jua yang juara.
Dumbledore politisi atau bukan?
Kehadiran figur Dumbledore tampaknya begitu mendesak. Adakah figur Dumbledore di sini? Kegelisahan ini kemudian saya bagi di Warung Kopi.
"Sayangnya, tokoh seperti Dumbledore selalu harus mati. Makanya, gak ada yang mau ambil posisi Dumbledore," jawab seorang teman.
Saya langsung nyengir. Tiba-tiba buku Psikologi Kematian-nya Kajeng Rektor melintas di kepala. Buku yang membahas dengan tuntas, semua yang bernyawa pasti bakal mati. Tanpa ditulis di kitab suci pun semua orang tahu. Tapi barangkali, maksud teman tadi, jarang ada manusia yang rela mati demi sebuah perjuangan.
“Bukankah kematian Dumbledore sudah ia rencanakan sendiri? Itu justru salah-satu contoh kesaktian politiknya yang luar biasa. Dumbledore sendiri yang memilih; kapan, bagaimana dan oleh siapa ia tewas. Ia juga sudah menghitung dengan rinci bagaimana dampak politik dari kematiannya," saya coba menjawab.
Teman tadi manggut-manggut.
"Dumbledore bukan orang politik kok. Buktinya, dia lebih milih jadi Kepala Sekolah daripada jadi Menteri Sihir," seorang teman lain menimpali.
"Lhoh, bukannya itu juga langkah politik?"
"Tergantung siapa yang lihat. Dumbledore gak perlu jadi politisi untuk dihormati,"
Wah, teman yang satu ini ternyata sebegitu rendahnya memandang politik dan politisi. Tak rela dia, Dumbledore disamakan dengan politisi. Dia tidak bisa terima, Dumbledore dicap nyebur dalam percaturan politik. Tentu saja dia tak bisa disalahkan. Politik akhir-akhir ini memang lebih sering tampil bermuka bopeng. Politik seolah-olah begitu jauh dari tujuan utamanya; mencapai kebaikan bersama. Politik hanya dipahami teman ini dalam maknanya yang paling hina. Politik seperti hantu blau.
"Definisi kita tentang politik belum selesai, kayaknya."
"Definisi mah tergantung orangnya aja yang liHat. Sosok Dumbledore, menurut gue bukan sosok yang demen sama yang namanya politik, tapi pastinya dia dihormati," kata dia melanjutkan, diikuti tawa.
Dumbledore memang bukan politisi an sich. Tapi jelas ia punya pengaruh besar bagi politik dunia sihir.
"Bukan soal dihormati atau nggak, bukan juga soal jadi politisi atau nggak. Tapi soal pengaruhnya dan gimana dia gunain pengaruh itu. Jelas-jelas Dumbledore ada di pusaran politik- dunia sihir. Dia malah memimpin satu kelompok; Order of the Phoenix. Kalo nggak mau itu dibilang partai, katakanlah semacam LSM. Posisinya jelas banget, menghadapi Voldemort dan para pengikutnya. Dumbledore dengan sadar ngambil peran dan posisi politik itu. Soal nggak mau ngambil jabatan politik; jadi menteri, itu kan taktik," panjang-lebar saya menjelaskan.
"Ah, bukan taktik deh. Dumbledore hanya seseorang dengan penderitaan dan tanggung jawab yang penuh misteri dari masa lalunya,” lagi-lagi dia menyangkal.
"Masa lalu Dumbleodre itu kan faktor pendorong sikap-sikap dan tindakan politiknya?"
Diskusi buntu.
Teman saya berkeras, Dumbledore tidak tersentuh, apalagi menyentuh politik yang kotor. Ingin rasanya menyodorkan gambaran Gandhi dan perjuangan politiknya. Mengingat arah diskusi sebenarnya bukan perdebatan seperti ini, saya urungkan niat. Saya keburu maklum, dia susah mengerti karena terlalu mem-boneka-barbie-kan Dumbledore. Dan lebih jauh lagi, bawah sadarnya mengamini bahwa politik itu keji.
*********
Masih banyak mahasiswa dan pemuda yang peduli masa depan bangsa. Masih banyak yang demonstrasi karena peduli, bukan dibeli. Masih banyak yang sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk mengabdi kepada Ibu pertiwi.
Akan tetapi, tanpa pembimbing dan penunjuk jalan macam Dumbledore, sepertinya kita harus mengucapkan selamat tinggal Indonesia yang cerah.
Tanpa tokoh sekaliber Dumbledore, politik kita selamanya akan abu-abu. Anak muda dengan idealisme menyala-nyala akan mati kutu. Dementor akan semakin meraja-lela menebar kegelapan, ketakutan dan keputus-asaan. Ancaman Kamu-Tahu-Siapa dan para Pelahap Maut semakin nyata. Dan pada saatnya, mereka yang akan berkuasa selama-lamanya. Anak-anak muda yang masih bening tatapan matanya, tidak mustahil akan bergabung ke sana. Tidak terkecuali saya sendiri.
Di lain pihak, teman saya tadi mulai berbicara tentang Aurel Hermansyah. Dia ceritakan, puteri pertama Anang-Krisdayanti itu memutuskan pacarnya melalui twitter. Tak lama kemudian, Aurel punya pacar baru lagi, putus lagi, galau lagi, punya pacar baru lagi dan seterusnya dan seterusnya.
Dia katakan dengan lantang, anak muda seperti Aurel tidak peduli sama sekali dengan politik. Bagi Aurel, topik yang kita bicarakan ini sampah.
Saya tidak bisa terima dan tak mau kalah tinggi intonasi: "AUREL ITU MUGGLE! JANGAN DIGANGGU! BIARIN AJA!"
Barangkali saya terlalu hitam-putih. Tapi Dumbledore pernah bersabda: "
It is not our abilities that show what we truly are. It is our choices."