Wednesday, 5 June 2013

SOEKARNO DI MATA TUKANG PECEL LELE

oleh: Abdullah Alawi

“Anda dari mana?”

“Dari Indonesia.”

“Oh.. Soekarno!”

“Iya.”

“Dia bukan hanya pemimpin Indonesia, tapi juga Afrika.”


Percakapan itu terjadi antara seorang supir taksi dengan sastrawan Asrul Sani di Afrika. Saya membaca kisahnya di majalah Horison, entah edisi berapa.

Taksi berhenti begitu sampai di tujuan. Asrul menyodorkan ongkos, tapi si sopir taksi menolaknya.

“Kita sama-sama dipimpin Soekarno. Jadi, kita saudara jauh. Sekalinya bertemu, masak harus bayar?”

***

Read

BAYANG-BAYANG TETRALOGI PULAU BURU

oleh: Arlian Buana C 

Kita tahu Pulau Buru. Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer sangat laris dan legendaris. Kita tahu, Buru adalah penjara hidup bagi mereka yang dianggap ancaman bagi Orde Baru, tahanan poltik yang dianggap berhubungan dengan PKI, termasuk Pramoedya. Apakah kita benar-benar tahu?


Amba hadir memberi tahu kita berbagai detail Pulau Buru. Sebagai roman sejarah, karya Laksmi Pamuntjak ini menghadirkan lanskap, aroma, suasana dan gejolak Buru. Melalui tokoh-tokohnya, Laksmi berhasil menyajikan segala tentang Buru ke hadapan pembaca.

Read

KEKERASAN DI TENGAH KEBHINNEKAAN


Kerukukan antar-umat beragama makin hari makin mencemaskan di negeri ini.  Berita intolensi  sering terdengar di televisi.


Atas nama agama, sekelompok orang menyerang jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Buntutnya, korban jatuh tak terelakkan. Begitu halnya dengan penyerangan sebuah tempat ibadat di Temanggung, Jawa Tengah.  Jamaah Syiah di Sampang hingga kini harus mengungsi dan meninggalkan tanah sendiri. Dan sederetan kasus lain di tempat lain.

Agama nampaknya melulu dipahami soal ritual (syar'i) dan  dogmatis (aqidah). Agama direduksi dalam bentuknya yang paling garang. Tafsir yang destruktif. Seakan lupa, bahwa konsepsi mendasar agama-agama terdapat pada pada dua entitas besar yang menjadi dinamisator. Yakni, kasih sayang (rahman) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah).

Di samping pemahaman beragama yang salah, faktor terpenting untuk mengatasi kekerasan atas nama agama adalah faktor negara. Negara yang berkewajiban melindungi setiap warganya. Namun sayangnya, dalam banyak kasus intolerasi yang terjadi, negara seolah absen melindungi para korban.

Entah bagaimana, SBY selaku kepala tidak malu menerima penghargaan atas keberhasilan menjaga kerukunan umat beragama. Berhasilkah negara menjaga kerukunan? Berhasilkah SBY melindungi para korban?

Kegagalan Negara
Menurut JJ Rosseau (1649), negara haruslah menjadi pelindung setiap warganya. Sebab, ia telah merenggut kebebasan alamiah yang dimiliki individu ketika belum adanya negara (state of nature).Negara dibutuhkanlah sebagai perekat kebebasan-kebebasan individu, serta sedikit menguranginya dengan social contract.

Individu kemudian tetap memiliki kebebasannya, namun kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan individu lain. Dan kebebasan itu dibatasi dengan kontrak sosial yang disebakati bersama. Negara, sebagai institusi yang dianugerahi tanggung jawab menjaga kontrak sosial itu, punya kewajiban melindungi warga yang hak-haknya direnggut. negara berkewajiban menghukum pelaku kekerasan dan kriminal karena menyalahi kontrak sosial, karena melanggar kebebasan individu lain.

Dengan demikian, dalam hal kekerasan yang kerap atas nama agama yang kerap terjadi dewasa ini, jelas bahwa negara punya tanggung jawan melindungi korban dan menghukum pelaku kekerasan, Negara harusnya membela mereka yang hak-haknya direnggut secara paksa. Namun yang terjadi, negara terlihat gagap. Negara seakan kalah oleh para pelaku kekerasan. Negara tidak tegas menghadapi intoleransi.

Kegagapan negara dalam memberikan keamanan setiap  warga inilah yang menjadi titik persoalan mengapa kebhinekaan dan kemajemukan kita terusik. Penulis kira ada tiga fundamental hal yang harus ditilik sebagai episentrum negara yang berdaulat.

Pertama, ancaman disintegrasi. Perkara ini kerap dianggap selesai oleh banyak orang. Sering dilupakan bahwa proses menuju integrasi sosial tidak segampang membalikkan telapak tangan.  Padahal proses ini adalah proses dinamis, yang tidak bisa dirawat hanya dengan acara-acara formal seperti dialog antar-agama yang boros anggaran. Peran pendidikan, pemberitaan media dan teladan dari para pemuka masayarakat dan agama penting di sini.

Bisa dilihat, misalnya, pada kasus India dan Pakistan yang akhirnya berpisah. Sebelum terpisah menjadi negara berbeda, persatuan keduanya berawal pada pseudo-politics', dilanjutkan dengan ketidakmampuan negara sebagai payung pemersatu. Indonesia, agaknya akan mengalami kejadian yang sama. Jika negara'lagi-lagi' gagal menjalankan tugasnya, serta hanya memikirkan kekuasaan dan citra terhadap suatu masalah.

Kedua, politisasi agama. Dua anasir ini ibarat dua mata sisi yang melengkapi. Bahwa agama dan politik tidak pernah lepas sebagai sesuatu yang sudah terkodifikasi (sunnatullah). Namun, menjadi bermasalah jika agama itu dipolitisasi oleh segelintir golongan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Buahnya, adalah kekerasan yang berbau agama.

Ketiga, identitas negara. Menjadi Indonesia adalah menyerupa nasionalis tanpa perlu mengamit agama sebagai teman sejawat dalan lelaku. Agama bukanlah embrio dari Pancasila  sebagai paradigma berpikir bangsa.  Meski sejak awal diakui para pendiri bangsa bahwa negara ini adalah negara beragama, tapi mereka tidak pernah bermaksud mendirikan negara agama. Hal ini terlihat jelas dari penghapusansembilan kata yang tadinya tercantum dalam sila pertama.

Landasan bangsa yang bertumpu pada toleransi, kebersamaan, kekeluargaan dan sikap saling menyayangi antara sesama.

Untuk itulah, segala silang sengkarut perbedaan tidak dibenarkan berakhir dengan kekerasan. Kita seharusnya malu pada nenek moyang dan tanah nusantara ini jika pertikaian karena agama sampai terjadi.

Intelektual muda Ahmad Makki suatu saat pernah berkata: pertengkaran demi meributkan perbedaan, apalagi sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan yang mengganggu tidur siang.
Read

PERJUANGAN UNTUK SETARA


The Cause is Fear”
-Dialog dalam film A Single Man

Sebuah dialog sederhana yang membuat saya berkontemplasi. Topik kontemplasi melebar kemana-mana hingga akhirnya saya berhenti pada satu topik: diskriminasi minoritas.

Read

PRESIDEN REPUBLIK TWITTER


Mengaku menyimak dinamika perkembangan teknologi komunikasi yang semakin masif, Presiden SBY akhirnya memutuskan untuk membuka akun twitter. Hal ini mengikuti “perpindahan besar-besaran” ke dunia maya yang dilakukan oleh para pemimpin berbagai negara.


Read

INI BUKAN ARAB, BUNG!

oleh: Ricardo Taufano

Punk merupakan jenis atau genre musik yang lahir di awal tahun 1970-an. Genre ini berakar pada sebuah subkultur yang muncul di kota London, Inggris.



Read

NOTAMERTA BUAT GERAK-GERIK


"Gua pengen ‘neladanin pedagang Cina. Harga murah, untung ‘dikit, pemasukan lancar," kata lelaki tinggi besar itu.

Saya mengangguk setuju.

"Harga murah juga berarti gua amal buat mahasiswa."

***
 
Sumber foto: Annida Online

Read

PANCASILA KITA

CIPUTAT hujan malam ini. Suasana yang pas untuk menyeruput segelas kopi, sesekali menggasak gorengan hangat dan tentu saja sambil bermain twitter.


20 Mei kemarin hari Kebangkitan Nasional. Berapa banyak dari kita yang masih peduli  peringatan itu, atau setidaknya ingat? Di twitter, tentu saja ramai yang membicarakannya, juga sejarah Boedi Oetomo yang diselimuti kontroversi.

Read

Wednesday, 15 May 2013

SEBUAH IKHTIAR, SEBUAH JALAN

Kami hadir dengan breaking ideas, bukan breaking news.
CIPUTAT. Sebuah kecamatan kecil di pinggiran Jakarta. Dulu, kota kecil ini pernah menjadi kiblat pembaharuan pemikiran Islam. Dulu, basis pergerakan besar ada di sini.


Ada suatu masa ketika Mazhab Ciputat begitu ramai diperbincangkan karena anak-anak muda dari kota kecil itu tampil dengan gagasan-gagasan hebat di pentas nasional. Ada suatu masa ketika, api aktivisme seperti takkan berhenti menyala di kampus kecil pinggiran Jakarta itu.


Read

MARI PULANG MARILAH PULANG


Setelah 3 tahun dalam pelarian, Hananto Prawiro, sahabat Dimas Suryo, akhirnya tertangkap. Penangkapan yang dipenuhi basa-basi. Penangkapan yang menjadi pintu masuknya menuju kematian.


Ketika  mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi,  sate Pak Heri, warung bakmi godog dan terakhir lampu neon Tjahaja Foto yang berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.

Lalu melompat ke Paris. Ketika Dimas Suryo jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Vivienne Deveraux, seorang aktivis mahasiswa  berkebangsaan Perancis.

Dia muncul seperti selarik puisi yang belum selesai.

Dimas harus tetap tinggal di

Perancis dan tak mungkin kembali ke Indonesia. Aktivitasnya di Kantor Berita Nusantara yang banyak bersinggungan dengan orang-orang kiri membuatnya hanya akan ditumpas jika nekad pulang. Apalagi kepergian Dimas dan kawan-kawan dari tanah air, beberapa hari sebelum peristiwa G 30 S, untuk menghadiri pertemuan jurnalis-jurnalis kiri di Kuba lalu ke China.

Sekali lagi Ibu menekankan sebaiknya Mas Dimas tetap di Eropa saja… Perburuan semakin mengganas, bukan hanya pada mereka yang dianggap komunis, atau ramah kepada PKI. Kini keluarga dan sanak family pun kena ciduk. Ada yang dikembalikan, ada yang hilang begitu saja, ada yang dihanyutkan ke sungai,”  tulis adik Dimas, Aji Suryo, dalam sepucuk surat.

Begitulah cuplikan dari novel Pulang karya Leila S Chudori. Dimas bersama  ketiga sahabatnya, Nugraha, Risjaf dan Tjai membangun hidup bersama-sama di Paris. Mereka mendirikan restoran “Tanah Air” di sana.

Leila dengan cerdik mengembangkan kisah ini. Segala dinamika di Perancis dipadukan dengan kisah-kisah masa lalu dan kerinduan akan masa depan di kampung halaman.

********

Kita mungkin telah lupa kapan terakhir kali menyebut “Indonesia” dengan deru di dada. Barangkali ketika menjadi petugas upacara di Sekolah Dasar berpuluh tahun yang lalu. Mungkin saat tim nasional sepakbola kita menderita kekalahan yang sepertinya telah menjadi hal biasa. Atau bisa jadi belum pernah.

Melihat Indonesia secara mendalam hari ini barangkali terlalu menakutkan bagi kita. Terlalu banyak hal yang membuat kita miris ketimbang tertawa bangga.  Segala tentang Indonesia terkesan seperti buruk belaka.  Kita pun berhenti ambil pusing dan mulai berpikir tentang diri kita masing-masing.

Tapi bagaimana jika hari ini mendadak kita harus terusir dari negeri ini dan terasing di negeri orang? Bayangkan Anda menjadi Dimas Suryo. Bayangkan, Anda harus pergi mencari perlindungan dari negara lain karena jika Anda pulang ke Indonesia maka nyawa Anda akan melayang.

Bayangkan, Anda harus pergi dari orang-orang yang Anda cintai hanya karena Anda dekat dengan kelompok tertentu padahal Anda tidak pernah merasa menjadi bagian dari kelompok itu. Bayangkanlah.

Jika Anda masih punya cukup waktu untuk membayangkan hal-hal yang demikian  -yang artinya untuk sejenak ambil pusing tentang Indonesia—maka novel Pulang adalah medium yang pas. Kita tak perlu menjadi TKI terlebih dahulu untuk mengetahui betapa sebenarnya kita mencintai tanah air ini, betapa kita akan merindukan segala sesuatu yang sepertinya remeh-temeh di sini.

Betapapun suramnya kenyataan tentang Indonesia, Dimas Suryo toh selalu merindukan tanah Indonesia. Betapapun pahitnya perlakuan negara terhadapnya, Dimas Suryo tak bisa berpaling dari hatinya yang merindukan aroma cengkeh, cintanya yang tertambat di Jakarta dan cita-citanya untuk disemayamkan di Karet, seperti Chairil Anwar. Tanah airnya. Akarnya. Maka ia ingin pulang.

Membaca novel ini, seperti menonton sebuah film dengan pertukaran adegan yang cerdas, penggambaran yang sempurna dan dialog-dialog yang menyentuh dengan nilai keseharian yang sederhana, kemanusiaan yang utuh. Kadang mencengangkan, kadang mengharu-biru, kadang lucu. Semuanya dikisahkan Leila dengan wajar.

Leila seperti punya segudang senjata untuk bercerita. Pilihannya menggunakan sudut pandang orang pertama dari tokoh-tokohnya memungkinkan ceritanya menjadi sangat kaya, karena segala persoalan dikuliti dari pikiran dan perasaan tangan pertama.

Novel ini sama sekali tidak kering karena selain Leila sangat lancar bercerita, di beberapa tempat juga terdapat bumbu humor yang menyegarkan. Meski tidak mendapat porsi cerita yang banyak, karakter Tjai adalah karakter yang segar justeru karena kekakuannya. Sebab Tjai dikelilingi oleh orang-orang yang tidak terlalu beraturan seperti Dimas dan kawan-kawan.

Melalui karakter Lintang Utara, anak Dimas dan Vivienne, yang ke Indonesia untuk tugas akhirnya di kampus, cerita kembali di Jakarta sebulan menjelang jatuhnya Orde Baru. Leila bahkan dengan cermat menulis bagaimana generasi 90-an berdialog, generasi yang terbiasa mengeluarkan umpatan anjing dan monyet untuk keakraban.

Dengan membelah cerita menjadi tiga bagian seperti drama tiga babak, alur maju-mundur yang merangsang dan tak kehilangan koherensi, membaca Pulang kita tidak akan pernah bosan hingga tanpa sadar telah mencapai halaman terakhir.

Lalu bagaimana kita memaknai rumah besar Indonesia? Andai segala tetek-bengek nasionalisme masih harus kita pusingkan.

Mari pulang. Marilah pulang.

Read

NASIB BURUH DARI MASA KE MASA

oleh: Matin Halim

Sejarah tentang Indonesia sejatinya merupakan lahan ekspansi kaum borjuasi kolonial. Ketika kedatangan orang-orang Eropa ke Indonesia, kontradiksi dalam sistem sosial feodal di Indonesia dipertajam oleh tangan kolonialis.


Jika sebelum Indonesia merdeka kita berjuang untuk menentang, melawan dan meruntuhkan pemerintahan/kekuasaan kolonial, maka sekarang tidaklah seperti itu. Kita menerima dan mengakui dengan sadar bahwa Republik Indonesia betapapun jelek dan rusaknya adalah Negara dan Pemerintahan kita sendiri. Maka para penyelenggara pemerintahan harus didorong agar mentaati dan menjalankan Konstitusi/UUD 45 – mandat revolusi sosial dan nasional Indonesia, dengan sungguh-sungguh demi kelancaran pembangunan.

Pertanyaannya kemudian, apakah pembangunan tersebut sudah mencapai titik yang signifikan dalam  upaya menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, dan tentunya juga sejalan dengan mandat konstitusi UUD 45? Harapan demi harapan ditanamkan dalam keyakinan, akan tetapi tidak pernah ada kejelasan atas harapan yang dibangun dari semangat kemerdekaan tadi. Krisis multidimensial, ketahanan pangan yang kacau balau, masalah hukum yang semrawut, permasalahan ekonomi, kesenjangan kelas yang semakin jelas terlihat antara petani dan si pemilik tanah, antara si buruh dan majikan.

Perjuangan kaum buruh di Indonesia, untuk memperoleh jaminan kepastian kerja ternyata semakin jauh dari harapan. Berawal dari sekitar tahun 1980-an, dengan berakhirnya masa kejayaan minyak, pemerintah melancarkan strategi baru untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui industrialisasi yang berorientasi ekspor. Promosi murahnya upah buruh, kestabilan politik, dan melimpahnya sumberdaya alam, telah menarik investor secara besar-besaran membangun berbagai industri

Akan tetapi harga yang dibayar juga terlalu mahal. Hancurnya tatanan sosial masyarakat, eksploitasi manusia dan sumberdaya alam, serta perusakan lingkungan hidup telah mewarnai perjalanan panjang pembangunan ekonomi Indonesia selama ini.

Di ujung masa pemerintahannya, Soeharto sempat menandatangani sebuah perjanjian dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) yang menyebabkan kondisi buruh Indonesia makin terpuruk tingkat kesejahteraannya. Kebijakan yang tertuang perjanjuan tersebut mendorong terjadinya Reformasi Hukum Perburuhan dimana pemerintah harus mengubah semua produk hukum perburuhan sejak jaman Soekarno yang cenderung pro-buruh. Reformasi Hukum Perburuhan yang melahirkan 3 Paket UU Perburuhan (UU 21/2000, UU 13/2003 dan UU 2/2004) telah melepaskan proteksi Negara terhadap buruh.

Kondisi ini berlanjut setelah tumbangnya rezim Soeharto, ketidakstabilan ekonomi yang terjadi berdampak cukup jelas pada industri formal, terutama di bidang TPT (tekstil dan produk tekstil). Menurunnya kegiatan produksi di industri formal (TPT, Perkayuan & Kehutanan, BUMN) mengakibatkan maraknya kasus PHK. Penyempitan kesempatan kerja di sektor formal ini juga menjadi salah satu penyebab membengkaknya jumlah pekerja di sektor informal.

Situasi perburuhan di Indonesia juga diperparah oleh keluarnya paket UU Perburuhan (UU Ketenagakerjaan, UU Penyelesaian Perburuhan dan UU kebebasan Berserikat) yang tidak mendukung peningkatan kondisi buruh tapi malah melegalisasi sistem kerja subkontrak, dan tenaga kerja kontrak tanpa memberikan perlindungan yang jelas terhadap buruh.

Dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja melalui investasi, pihak perusahaan  mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang dianggap terlalu protektif dan kebijakan upah minimum yang kenaikannya dianggap tidak menguntungkan investor.  Situasi ini membuat kondisi buruh menjadi semakin rentan.

Hasil dari pembangunan ekonomi dengan menggunakan jalan kapitalisme, di satu sisi memang membuahkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi di sisi yang lain menghasilkan kesenjangan sosial yang tajam karena pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang yang menguasai unit-unit ekonomi dan juga sumber-sumber ekonomi di dalam negeri. Sementara rakyat selalu menjadi korban dari pembangunan. Struktur ekonomi seperti ini terjadi karena masih dominannya pihak asing (kreditor) dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi di negeri ini.

Dan sejauh ini, refomasi ternyata hanya melahirkan demokrasi prosedural dengan elit-elit penguasa yang rakus dan takluk di bawah kaki para pemodal. Tak heran jika Pramoedya pernah menyebut era ini adalah Orde Baru di Orde Baru.

Penguasaan swasta dan asing atas aset-aset berharga, baik materi maupun non-materi kembali menjadi tontonan setiap hari, mengingatkan kita pada sejarah kelam negeri ini yang selama berabad-abad berada dalam cengkeraman kolonialisme-imperialisme. Sumber daya alam seperti, tambang, minyak dan lain-lain, memang melimpah ruah, akan tetapi telah dirampok  swasta dan asing.

Tenaga-tenaga kerja produktif pribumi menjadi sasaran empuk perbudakan. Pengetahuan warisan leluhur memang megah dan mengagumkan. Tapi neokolonialisme telah merebut dan menghegemoni basis epistimologi dan menembus ke-“tidak-sadaran” kita.

Yang tersisa adalah buruh yang terus diperas keringatnya, petani yang kelaparan di lumbung padi, dan rakyat yang terjajah.

Read

HIDUP BURUH, PERMAINAN PENGUASA

oleh: Udin Syarifudin

Lagi-lagi buruh yang menjadi korban, yang selalu dimanfaatkan dan hanya dibayar murah.

Hingga saat ini yang disalahkan selalu buruh yang selalu menjadi obyek lempar batu sembunyi tangan, padahal keinginan buruh tidak seberapa.


Hampir satu dekade terakhir, kekerasan terhadap nasib para buruh yang terjadi kian marak. Bahkan sampai ada yang pergi ke negeri orang dan pulang tinggal nama karena menjadi buruh. Tidak sedikit pula orang yang bungkam dan tutup mata atas hal ini.

Sepertinya ada yang disembunyikan di saku kiri para pejabat, karena tidak sedikit pula anjuran-anjuran para pejabat yang membuat orang yang mendengarkan agak bingung. Ketika kaum buruh sedang diselimuti rasa takut yang mencekam karena ancaman PHK dan banyaknya ketidak-adilan, para pengusaha dan penguasa menyembunyikan kesepakatan diam-diam di belakang meja makan malam.

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang tidak ada kurang-kurangnnya jika dikelola dengan baik. Kekayaan itu dapat memberikan keuntungan lebih bagi negara dan seisinya. Namun faktanya berlawanan dengan fakta yang seharusnya terjadi, kemiskinan seperti telah menyatu dengan raga sebagian besar orang Indonesia. Kesejahteraan kaum pekerja, buruh dan tani, jauh panggang dari api.

Namun buruh tak bisa berbuat banyak. Mereka tidak berdaya karena tidak memiliki otoritas atas nasib mereka sendiri. Daya tawar mereka pun seakan selalu direndahkan oleh para penguasa dan pemilik modal.

Padahal pemerintah berkewajiban untuk memperjuangkan nasib buruh-buruh tersebut. Pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah tidak boleh lepas tangan untuk memberikan jaminan pendidikan dan kesehatan yang layak bagi rakyat banyak. Karena sejatinya, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Bukan milik segelintir birokrat busuk dan pemilik modal.

Maka tidaklah salah apabila pada waktu lalu, saat ini dan mungkin masih akan terjadi ke depannya, sumber protes, demonstrasi dan pemogokan buruh adalah menuntut hak-hak mereka yang telah dieksploitasi.

Segala bentuk protes itu merupakan bentuk resistensi kaum buruh terhadap represi yang dilakukan kaum kapitalis. Itulah perlawanan terakhir mereka dalam memperjuangkan nasib mereka sendiri.
Read

DICARI: ALBUS DUMBLEDORE ASLI INDONESIA


Politik kita hari ini makin seperti film horor dalam negeri. Ngeri-ngeri tapi bagi akal sehat bikin geli. Setiap hari kita dipaksa menonton lelucon di televisi. Kalau tidak setuju, tolong sebutkan satu saja peristiwa politik belakangan ini yang  tidak lucu.


Di tengah berbagai lelucon itu, bagaimana masa depan Indonesia? Semua orang pasti akan langsung bersepakat bahwa masa depan negara ada di tangan pemuda. Pemuda adalah harapan laten semua bangsa. Tapi bisakah generasi sekarang mengamankan masa depan? Itu pertanyaan besar yang jawabnya masih disimpan di Bank Swiss. Entah siapa pegang kuncinya.

Benarkah segalanya di tangan pemuda?

*********

Bukan rahasia jika setiap tokoh muda punya mentor. Bukan rahasia pula, setiap organisasi mahasiswa atau pemuda punya senior elit yang kepentingannya harus dibela dan diperjuangkan mati-matian. Namanya kepentingan, kadang bertemu kadang beradu. Kawan dan lawan soal mata pendapatan saja, di samping pendapat pastinya.

Organisasi mahasiswa adalah kepanjangan tangan senior-seniornya di lapangan. Ya buat demo, menggarap proyek hingga menjadi mesin politik yang berpusing ke seluruh penjuru nusantara. Dari skala teri sampai skala kakap.

Jadi sebenarnya, ungkapan masa depan bangsa di tangan pemuda adalah hiburan belaka. Buat membesarkan hati cuma-cuma. Pengendalinya yang tua-tua juga. Jangan kecewa.

Para petua itulah yang berkontribusi besar atas kenyataan politik kita akhir-akhir ini. Sekali lagi jangan kecewa. Begitulah adanya. Setiap tokoh muda pasti sangat patuh pada minimal satu orang yang dianggapnya Suhu. Setiap organisasi mahasiswa punya senior yang kata-katanya merupakan firman.

Anak muda, kau baru benar-benar pegang kendali setelah kau sudah tak lagi muda! Camkan itu. Jangan ge-er kalau ada yang menyanjung peran pemuda setinggi Menara Dubai. Itu lebay.

Mari kita tengok novel Harry Potter. Oleh J.K Rowling, Harry dijadikan tokoh utama yang bisa mengalahkan Voldemort. Kita yang ketika membacanya masih kecil, senang sekali mendapati Harry pahlawannya.

Tapi Harry hanyalah kepanjangan tangan dari Dumblodore. Bahkan seluruh anggota Orde Phoenix patuh kepada Dumbledore. Jadi siapa pengendalinya? Si Tua.

Mau tidak mau, kita sebagai pemuda yang katanya pemegang mandat masa depan, wajib menemukan Maha Guru yang tepat. Harry sih enak, tanpa dia cari, Dumbledore datang menghampiri. Apesnya, kita bukan hidup di dunia rekaan. Dan di negara ini ada banyak sekolah dan universitas. Sementara di sana, Hogwarts satu-satunya. Sudah pasti ia jumpa Dumbledore, pembimbingnya. Sementara kita, harus mencari kesana-kemari. Akan sangat berbahaya jika kita jatuh menjadi Draco Malfoy, punya panutan si Penguasa Kegelapan.

Anak-anak muda Indonesia, dalam hemat saya, butuh mentor politik sekelas Albus Dumbledore, agar bisa membebaskan negeri ini dari ancaman Kamu-Tahu-Siapa dan para Pelahap Maut.

Walaupun ada ribuan Harry, Ron dan Hermione, percuma bila sosok seperti Dumbledore absen. Sosok yang tidak hanya memiliki kesaktian politik, tapi juga kecerdasan menyusun strategi agar kebajikan jua yang juara.

Dumbledore politisi atau bukan?
Kehadiran figur Dumbledore tampaknya begitu mendesak. Adakah figur Dumbledore di sini? Kegelisahan ini kemudian saya bagi di Warung Kopi.

"Sayangnya, tokoh seperti Dumbledore selalu harus mati. Makanya, gak ada yang mau ambil posisi Dumbledore," jawab seorang teman.

Saya langsung nyengir. Tiba-tiba buku Psikologi Kematian-nya  Kajeng Rektor melintas di kepala. Buku yang membahas dengan tuntas, semua yang bernyawa pasti bakal mati. Tanpa ditulis di kitab suci pun semua orang tahu. Tapi barangkali, maksud teman tadi, jarang ada manusia yang rela mati demi sebuah perjuangan.

“Bukankah kematian Dumbledore sudah ia rencanakan sendiri? Itu justru salah-satu contoh kesaktian politiknya yang luar biasa. Dumbledore sendiri yang memilih; kapan, bagaimana dan oleh siapa ia tewas. Ia juga sudah menghitung dengan rinci bagaimana dampak politik dari kematiannya," saya coba menjawab.

Teman tadi manggut-manggut.

"Dumbledore bukan orang politik kok. Buktinya, dia lebih milih jadi Kepala Sekolah daripada jadi Menteri Sihir," seorang teman lain menimpali.

"Lhoh, bukannya itu juga langkah politik?"

"Tergantung siapa yang lihat. Dumbledore gak perlu jadi politisi untuk dihormati,"

Wah, teman yang satu ini ternyata sebegitu rendahnya memandang politik dan politisi. Tak rela dia, Dumbledore disamakan dengan politisi. Dia tidak bisa terima, Dumbledore dicap nyebur dalam percaturan politik. Tentu saja dia tak bisa disalahkan. Politik akhir-akhir ini memang lebih sering tampil bermuka bopeng. Politik seolah-olah begitu jauh dari tujuan utamanya; mencapai kebaikan bersama. Politik hanya dipahami teman ini dalam maknanya yang paling hina. Politik seperti hantu blau.

"Definisi kita tentang politik belum selesai, kayaknya."

"Definisi mah tergantung orangnya aja yang liHat. Sosok Dumbledore, menurut gue bukan sosok yang demen sama yang namanya politik, tapi pastinya dia dihormati," kata dia melanjutkan, diikuti tawa.

Dumbledore memang bukan politisi an sich. Tapi jelas ia punya pengaruh besar bagi politik dunia sihir.

"Bukan soal dihormati atau nggak, bukan juga soal jadi politisi atau nggak. Tapi soal pengaruhnya dan gimana dia gunain pengaruh itu. Jelas-jelas Dumbledore ada di pusaran politik-  dunia sihir. Dia malah memimpin satu kelompok; Order of the Phoenix. Kalo nggak mau itu dibilang partai, katakanlah semacam LSM. Posisinya jelas banget, menghadapi Voldemort dan para pengikutnya. Dumbledore dengan sadar ngambil peran dan posisi politik itu. Soal nggak mau ngambil jabatan politik; jadi menteri, itu kan taktik," panjang-lebar saya menjelaskan.

"Ah, bukan taktik deh. Dumbledore hanya seseorang dengan penderitaan dan tanggung jawab yang penuh misteri dari masa lalunya,” lagi-lagi dia menyangkal.

"Masa lalu Dumbleodre itu kan faktor pendorong sikap-sikap dan tindakan politiknya?"

Diskusi buntu.

Teman saya berkeras, Dumbledore tidak tersentuh, apalagi menyentuh politik yang kotor. Ingin rasanya menyodorkan gambaran Gandhi dan perjuangan politiknya. Mengingat arah diskusi sebenarnya bukan perdebatan seperti ini, saya urungkan niat. Saya keburu maklum, dia susah mengerti karena terlalu mem-boneka-barbie-kan Dumbledore. Dan lebih jauh lagi, bawah sadarnya mengamini bahwa politik itu keji.

*********

Masih banyak mahasiswa dan pemuda yang peduli masa depan bangsa. Masih banyak yang demonstrasi karena peduli, bukan dibeli. Masih banyak yang sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk mengabdi kepada Ibu pertiwi.

Akan tetapi, tanpa pembimbing dan penunjuk jalan macam Dumbledore, sepertinya kita harus mengucapkan selamat tinggal Indonesia yang cerah.

Tanpa tokoh sekaliber Dumbledore, politik kita selamanya akan abu-abu. Anak muda dengan idealisme menyala-nyala akan mati kutu. Dementor akan semakin meraja-lela menebar kegelapan, ketakutan dan keputus-asaan. Ancaman Kamu-Tahu-Siapa dan para Pelahap Maut semakin nyata. Dan pada saatnya, mereka yang akan berkuasa selama-lamanya. Anak-anak muda yang masih bening tatapan matanya, tidak mustahil akan bergabung ke sana. Tidak terkecuali saya sendiri.

Di lain pihak, teman saya tadi mulai berbicara tentang Aurel Hermansyah. Dia ceritakan, puteri pertama Anang-Krisdayanti itu memutuskan pacarnya melalui twitter. Tak lama kemudian, Aurel punya pacar baru lagi, putus lagi, galau lagi, punya pacar baru lagi dan seterusnya dan seterusnya.

Dia katakan dengan lantang, anak muda seperti Aurel tidak peduli sama sekali dengan politik. Bagi Aurel, topik yang kita bicarakan ini sampah.

Saya tidak bisa terima dan tak mau kalah tinggi intonasi: "AUREL ITU MUGGLE! JANGAN DIGANGGU! BIARIN AJA!"

Barangkali saya terlalu hitam-putih. Tapi Dumbledore pernah bersabda: "It is not our abilities that show what we truly are. It is our choices."
Read

DIHANCURKAN MUENCHEN, AKHIR DARI ERA BARCELONA?

Semi final leg ke-2 European Champions League, Rabu, 1 Mei dini hari lalu, memperlihatkan hasil yang cukup mengagetkan. Barcelona dikalahkan Bayern Munchen di kandang sendiri dengan skor 3-0.


Di pertemuan sebelumnya, yang berlangsung di Allianz Arena, Bayern mencetak 4 gol tanpa balas. Agregat 0-7 merupakan hasil akhir yang sangat menyedihkan bagi fans dari club Catalan.

Kekuatan Barcelona yang selama 6 tahun terakhir berjaya di Eropa tidak mampu menghadang agresivitas para pemain Bayern. Lionel Messi dan kawan-kawan tak mampu untuk mencetak satu gol pun ke gawang Manuel Neuer.

Pada pertandingan semi final Liga Champion ini, Bayern Munchen bermain dengan sangat bagus. Taktik yang digunakan Jupp Heynckes sangat brillian dengan memberikan pressing pemain Barcelona dari daerah pertahanan Barca sejak pluit awal pertandingan berbunyi. Skema tiki-taka ala Barcelona yang selama ini superior di hadapan lawan-lawannya seolah-olah telah menjadi skema yang usang. Bagai sebuah mesin gol yang tak hentinya keinginan untuk mencetak gol, Bayern selalu meningkatkan serangannya meskipun telah unggul 4-0 sebelumnya.

Inikah akhir dari era Barcelona?

“Jangan hanya menilai kekuatan suatu tim hanya dalam satu atau dua pertandingan saja,” ujar Andreas Iniesta, gelandang serang Barcelona.

“Kami tampil dengan intensitas tinggi, tetapi kami tidak mampu mencetak gol, itulah yang menjadi pembeda,” tambahnya.

Menurut analis sepakbola Jonathan Wilson, penulis buku Inverting the Piyramid yang membedah evolusi taktik sepakbola dunia, inilah akhir dari Era Barcelona. Superioritas klub Catalan dalam 6 tahun terakhir, menurutnya, membuat periode tersebut layak disebut sebagai Era Barcelona. Dengan tiki-taka, Messi cs selalu berhasil memiliki penguasaan bola (possession) yang lebih besar dari lawan-lawannya.

Barca adalah klub sepakbola dengan possession tertinggi di Eropa, diikuti Bayern di peringkat kedua.

Kekalahan telak Barca dari Bayern, menurut Wilson, adalah tanda dari pergeseran sebuah era. Permainan Bayern, lanjutnya, adalah permainan ala Barca yang telah dimodifikasi dan diperbaiki kelemahan-kelemahannya. Salah-satu yang paling menonjol, Bayern memiliki keunggulan fisik dalam memperebutkan bola, tidak melulu dengan teknik yang dalam beberapa kesempatan seringkali tidak bekerja.

Apalagi di musim depan, Bayern akan dilatih oleh Pep Guardiola, mastermind tiki-taka Barcelona selama ini.

Apakah kiblat sepakbola akan segera berpindah ke kota Munich? Menarik ditunggu perkembangannya beberapa tahun ke depan. (JOPI)


Read

MAY DAY: MELIHAT KENYATAAN KEHIDUPAN BURUH INDONESIA

PMII Komisariat FISIP UIN Syarif Hidayatullah mengadakan diskusi mingguan dengan tema “Polemik Perburuham di Indonesia: Dampak Imperialisme terhadap Negara Dunia ke-3”. Tema ini diangkat dalam rangka memperingati hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 Mei.  Pada hari itu, ratusan ribu buruh Indonesian tumpah ruah dikawasan Bundaran hotel Indonesia (HI). Mereka menuntut, kelayakan upah, penghapusan sistem kerja kontrak, dan jaminan kesehatan.


Sejarah pahit penjajahan dinegeri ini membawa dampak buruk bagi mentalitas dan karakteristik rakyatnya. Sehingga, karakteristik pemimpin yang begitu lembek dan cenderung selalu bersikap lemah terhadap pihak asing dan pemilik modal merupakan faktor utama penyebab kesengsaraan buruh. Hal tersebut dijelaskan oleh Matin Halim (Kader PMII KOMFISIP), pada Kamis (02/05/2013) malam.

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk kesejahteraan rakyat. Namun, realita yang terjadi ditengah masyarakat adalah krisis multidimensial, ketahanan pangan yang lemah, dan hukum yang semrawut. Masalah ekonomi di negeri ini semakin kompleks. Kesenjangan sosial di masyarakat semakin terlihat tajam.

Itulah yang diperjuangkan para buruh di Indonesia. Pasca berakhirnya masa kejayaan minyak, pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi orientasi ekspor. Promosi murahnya upah buruh, kestabilan politik, dan melimpahnya smuber daya alam, telah menarik investor asing. Akibatnya, Indonesia harus membayar mahal, dengan kerusakan tatanan sosial, eksploitasi manusia dan sumber daya alam, serta perusakan lingkungan karena penanaman modal asing.

“Industi yang sangat eksploitatif menimbulkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi (vergebrtandlichung), yakni buruh hanya dijadikan sebagai obyek satuan modal di mata kapitalis, bukan sebagai subyek atau pencipta barang,” terang matin.

Hasil dari pembangunan ekonomi kapitalistik membuahkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun menghasilkan kesenjangan sosial yang tajam karena hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat saja. Sistem ekonomi seperti ini, karena masih dominannya pihak asing (kreditor) dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi di negeri ini.

Praktik ekonomi yang eksploitatif tersebut, disebabkan oleh moralitas ekonomi tidak dijadikan landasan dalam hubungan dan proses ekonomi. Menurut Matin, solusi dari permasalahan di atas adalah harus ada renegosiasi kontrak-kontrak karya serta sistem bagi hasil dalam industri ekstraksi sumber daya alam, serta pemberian jaminan terhadap hak buruh. Selain itu, ia pun menawarkan pilihan kemungkinan nasionalisasi perusahaan asing yang patut untuk dipertimbangkan sebagai jalan keluar yang rasional.

“Oleh karena itu, kita patut turut memperjuangkan hak-hak buruh. Karena, hal itu tidak hanya bermanfaat bagi buruh saat ini saja, tapi akan jauh lebih bermanfaat bagi para buruh di masa berikutnya,” demikian ungkap Matin. (HANIFA)
Read

SEBUAH PERJALANAN MENAPAKI JEJAK DIPLOMASI INDONESIA

Laporan dari Pertemuan Sela Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se- Indonesia (PSNMHII) XXV, di Universitas Andalas, Padang.
Pertemuan Sela-Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia, merupakan  acara yang menjadi agenda tahunan di dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (FKMHII). 


PSNMHII digunakan oleh para mahasiswa hubungan internasional sebagai forum temu di sela tahun yang bertujuan untuk membahas agenda-agenda di dalam FKMHII serta persiapan untuk menyambut Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) sebagai acara terbesar dalam agenda FKMHII. Tahun ini, Universitas Andalas adalah tempat bagi berlangsungnya PSNMHII XXV yang berlangsung antara tanggal 21-25 April 2013.

21 April 2013, PSNMHII XXV secara resmi dimulai. Napak tilas diplomasi Indonesia diusung sebagai tema besar dalam PSNMHII XXV kali ini. Sebuah tema yang meminta segenap peserta, yang merupakan mahasiswa ilmu hubungan internasional dari universitas seluruh Indonesia, untuk mengingat kembali sejarah diplomasi Indonesia di dunia internasional sedari merdeka hingga kini.

Tema tersebut menjadi sangat menarik mengingat kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia beberapa tahun terakhir yang terlihat kurang berani, bahkan cenderung melunak pada beberapa aspek. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah upaya mengingat kembali sebagai evaluasi dan pembelajaran, terutama bagi para mahasiswa hubungan internasional yang kelak tak lain akan menjadi diplomat-diplomat Indonesia.

Hadir sebagai pembicara di dalam seminar nasional yang menjadi salah satu rangkaian acara PSNMHII XXV dengan tema “napak tilas diplomasi Indonesia” adalah Ambassador Fachri Ali sebagai perwakilan dari Kementrian Luar Negeri Indonesia dan Philips J. Vermonte, pengajar jurusan ilmu hubungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta peneliti di CSIS. Dalam seminar nasional yang berlangsung pada tanggal 22 April 2013 tersebut, seminar dibagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama, pemberian materi tentang sejarah diplomasi Indonesia, serta penjelasan langkah-langkah taktis Kementrian Luar Negeri Indonesia dalam proses diplomasi Indonesia yang disampaikan oleh Ambassador Fachri Ali. Lalu sesi kedua adalah pemaparan dan analisa tentang perjalanan-perjalanan diplomasi Indonesia, oleh Philips J. Vermonte.

Di dalam dua sesi seminar tersebut secara garis besar dapat disimpulkan bahwa, diplomasi merupakan salah satu faktor paling penting yang membawa bangsa ini sampai pada gerbang kemerdekaan yang bisa kita nikmati saat ini selain faktor perjuangan fisik.

Perjuangan secara diplomasi inilah yang menjadi bahasan penting di dalam seminar nasional yang berlangsung pada hari itu. Kisah seputar Mr. Achmad Soebardjo menjadi halaman pertama kisah-kisah perjalanan diplomasi Indonesia. Menteri luar negeri Indonesia pertama tersebut menjadi tonggak segala kisah perjuangan Indonesia dalam diplomasi setelah merdeka, sebagai kementrian pertama yang terbentuk pasca kemerdekaan, peran Kementrian Luar Negeri sangat vital dalam rangka mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka.

Kisah seputar Agresi militer Belanda I dan agresi militer Belanda II sampai Konferensi Meja Bundar merupakan kisah-kisah manis perjuangan diplomasi Indonesia di dunia internasional. Dari peristiwa-peristiwa itu, Indonesia berhasil membuktikan tajinya sebagai negara yang baru merdeka, yang berujung pada keputusan Konferensi Meja Bundar yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Indonesia secara de jure dari bangsa-bangsa dunia.

********

Hari ketiga, 23 April 2013, merupakan hari paling panjang bagi para delegasi, begitu pula bagi kami delegasi UIN Jakarta; Azmi, Nyimas, Ahsan, Fikri, Ikhsan, Andi, dan Ganang. Hari itu para delegasi mendapatkan agenda city tour, sebuah perjalanan yang sangat istimewa karena para delegasi diajak untuk menapaki jejak 
Hatta, meneladani langkah Sjahrir, bahkan menikmati syair-syair Taufik Ismail.

Istana Hatta adalah destinasi pertama dari perjalanan tersebut, dan para delegasi menjadi saksi kehebatan Hatta. Tetesan-tetesan perjuangan Hatta masih tersimpan rapi disana, menjadi untaian-untaian kisah indah kehebatan salah satu tokoh besar bangsa ini. Jiwa Hatta terjaga, merasuk kembali di dada para delegasi. 

Selanjutnya adalah galeri Taufik Ismail, syair-syair yang indah terpahat pada dinding-dinding galeri, dan sejarah Sjahrir mendapat tempat khusus di salah satu sudut galeri itu.

Kepuasan para delegasi tidak terkira, namun, keesokan hari acara harus sampai pada ujung perjalanan, PSNMHII XXV pun ditutup dan diakhiri dengan pesta perpisahan. Menjadi aneh ketika pesta perpisahan yang seharusnya menjadi sebuah kesan yang tak akan terlupakan, namun, justru memberikan kesan yang kurang menarik, keteledoran panitia pada saat itu yang tidak mempunyai rencana cadangan menjadikan acara pesta perpisahan tersebut gagal lantaran hujan yang turun harus membubarkan acara tersebut yang kebetulan berlokasi di tempat terbuka.

Terakhir, PSNMHII XXV dengan segala lika-likunya, kelebihan dan kekurangannya, telah memberi kesan bagi seluruh delegasi yang mengikuti serangkaian acara  tersebut. Semoga menjadi pembelajaran bagi terlaksananya PSNMHII XXVI di Universitas Udayana pada tahun 2014. (AHSAN)




Read

Pages